[FICLET – ORI-FIC] AIR MATA KAKAK | Isan

tears

 

Air Mata Kakak

It’s an original fiction by Isan

 

Credit picture is here !

.

.

.

Aku punya seorang kakak perempuan yang terpaut usia lima tahun lebih tua dariku.

Dan aku belum pernah melihat kakak perempuanku itu menangis.

Mendapati adanya air mata yang menganak pun belum pernah.

Kakak selalu memasang ekspresi datar yang… benar-benar menyeramkan.

Bahkan, ketika aku dan kakak mendengar pertengkaran hebat antara ayah dan ibu kami, kakak tak meneteskan air mata. Malah, aku yang gencar menangis tersedu, padahal aku adalah anak laki-laki. Kemudian, kakak merangkul tubuhku ke dalam pelukannya. Membisikkan kalimat penyemangat disertai dengan nada dingin yang memuakkan. Hal itu malah membuat tangisanku semakin pecah.

Hari, minggu, bulan, bahkan tahun yang telah kami lewati pun, sama sekali tak ada perubahan yang berarti.

Aku tetap belum pernah melihat kakak menangis selama delapan tahun usiaku ini. Padahal, aku ingin sekali mengusap lelehan bulir beningnya di saat kakak merasa sedih. Atau di saat kakak tak sanggup menahan beban permasalahan dalam keluarga kami.

Sungguh, aku penasaran. Bagaimana, ya, ekspresi kakak kalau dia sedang menangis? Apakah jelek? Menyedihkan? Atau… terlihat putus asa?

Satu minggu ketika ulangtahunku dirayakan, pertengkaran hebat antara ayah dan ibu kembali terjadi. Dan hal ini turut melibatkanku yang baru saja pulang dari sekolah.

Ayah menyeretku dengan kasar, dan aku memekik kesakitan karenanya. Kemudian, tanpa asa, ayah mendorongku hingga membentur dinding rumah. Umpatan demi umpatan keluar begitu saja dari bibirnya, menguarkan bau nikotin yang menyesakkan.

Tanpa diduga, ayah memukulku sangat keras. Ia menampar pipi dan kepalaku seperti orang kesetanan. Ia terus menerus menyiksaku tanpa alasan. Mengumpat lagi. Mengabaikan jerit pilu ibu di belakang tubuh gempalnya. Lalu kembali menyiksaku, hingga tubuhku terasa lemas, dan… lelehan air mata ini mulai membaur bersama keringat dan darah yang mengucur dari wajah.

Aku membutuhkanmu, Kak…

Rasanya… aku seperti mati di sini…

.

.

Malam harinya, kakak datang ke kamarku ketika aku sedang meringkuk di atas kasur. Kulihat kakak membelalakkan matanya seraya menyerukan namaku, cemas. Kakak lantas duduk di tepian tempat tidur. Kedua tangannya bergerak cepat membawa tubuhku untuk duduk berhadapan dengannya. Ugh, kakak menekan memar di kedua lenganku! Dan rasanya sangat sakit! Membuatku tak dapat menahan ringisan ngilu.

“Kamu baik-baik aja, kan?” suara kakak terdengar bergetar. Matanya terarah lurus pada sepasang manik mataku yang buram karena pening. Oh, sudah hampir seharian ini aku tak menyentuh makanan, dan aku abai terhadap rasa lapar yang menyiksa perut.

“Bagaimana bisa ayah mukulin kamu, hah?” kakakku bertanya lagi. Kali ini terdengar seperti membentakku. Tapi aku tak kuasa menjawab, memberikan senyum menenangkan untuknya saja aku tak sanggup.

“Jawab Kakak, Dek!”

Aku masih belum menjawab. Pandangan kami belum teralihkan ke manapun. Dapat kudengar deru napas kakak yang memburu, serta kedua matanya yang mulai memerah. Kuperhatikan semua itu tanpa terlewatkan sedikitpun, terlebih pada sepasang indera penglihatannya itu.

Pada detik di mana keheningan menyeruak, di sanalah…

Aku melihat ada bulir bening yang turun membasahi pipi kakak.

“Kenapa kamu diam aja, sih?!”

Lagi-lagi, aku melihat setetes air mata menyusuri pipinya. Membuatku semakin terdiam, dan semakin memaku pandang pada kakak.

Iya, kami berdua sama-sama terdiam.

Kami berdua semakin terperosok ke dalam suasana senyap yang mengukung.

Hanya terdengar isak tangis kakak di sini.

“Kak…” suaraku terdengar parau. Mataku mengerjap cepat supaya aku tidak menangis.

Kakak menatapku lamat, tangannya bergerak mengusap rambut hitam pendek milikku seraya berkata, “Bagian mana yang sakit, hm?”

Ditanya seperti itu, rasanya terasa begitu menusuk. Aku tak bisa menahan tangis lebih lama lagi. Terlebih ketika bibir kakak bergetar saat ia menangis di depanku.

“Di sini, Kak.” Aku menunjuk dadaku yang terasa sesak bukan main. Mimik wajahku tak dapat dikendalikan lagi. Perpaduan nyeri dan pilu sudah cukup menimbulkan luka yang teramat besar pada diriku.

Lalu, tanganku beralih mengusap lelehan air mata kakak yang tak kunjung berhenti.

Oh… seperti inikah rasa yang kudapat ketika melihat kakakku menangis tersedu? Rasa… sakit yang luar biasa?

“Maaf, Kakak gak bisa jaga kamu. Maaf, kamu harus menerima semua kekacauan yang nggak seharusnya kamu dapat…”

“Nggak apa-apa, Kak.” Aku tersenyum padanya, berusaha agar membuat kakak tenang.

“Kakak janji, gak bakal biarin kamu dipukul sama ayah lagi. Iya, Kakak janji…” ia sesenggukan sejenak, “Maafin Kakak, ya.”

Ucapan itu tak kujawab. Manikku masih menatap sendu wajah kakak yang begitu sembab. Air mataku kembali mengalir, pun rasa sesak dalam dada kian meningkat.

Terpenuhi sudah keinginanku untuk melihat air mata kakak.

Dan sekarang, aku punya keinginan baru lagi;

.

.

.

Aku tak mau lagi melihat kakak menangis.

.

.

Fin.

Sorry for bad fic, :”3

5 pemikiran pada “[FICLET – ORI-FIC] AIR MATA KAKAK | Isan

  1. Baru aja masuk ke alur cerita, lagi menghayati ori-fic-nya, eeeh
    DUAAAARRRR
    petir datang, jadi biasa aja 😀 . Tapi tetep kerasa ko sedih dan sakit nya. Sabar ajah, ayah kaya gitu mah harus masuk penjara! Tuh kan, datang lagi petir nya 😐 . Hobi banget kaya nya ngagetin aku -_- . Hujan, lagi dingin, bosen, lalu cek wordpress kakak, ternyata udah update 😀 ^^. Kakak kapan mau pulang? Hehehehe 😀 , ori-fic ini bagus kok 😉 , good job 😉

    Suka

  2. ihiikkk isaaannn… ini baguusss.. sedihhh.. aku mau nangissss… Isan mau ngusap air mata aku gak? /apasih/
    punya ayah kaya gitu, pecandu narkoba, KDRT, udah bunuh ajalah wkwkwk
    keep writing Isaaaannn 😀

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar